Pages

Monday, November 10, 2014

Review: Membangun Sekolah yang Dicintai Anak

Dok. Pribadi
Detail Buku
Judul: Membangun Sekolah yang Dicintai Anak
Penulis: Monash Indonesian Islamic Society (MIIS)
Editor: Baihaqi Nu'man, Lara Fridani
Penerbit: Lentera Ilmu Cendekia
Cetakan: Pertama, April 2012
Tebal: 141 halaman
ISBN: 978-602-8969-39-0
Harga: Rp 35.000 Gratis (sumbangan dari Jule & Antzer Mother School untuk POMG di sekolah Jav)

Dibaca
3-4 November 2014. 
Ketika menerima buku ini, sebenarnya saya lagi malas membaca. Tapi setelah mengintip sedikit isinya, malah jadi keterusan :p

Review
"Oh no, it's holiday. I really miss school, Mum!" (Halaman 119)
Kalimat tersebut diucapkan oleh Saarah, putri bungsu dari Siti Rohani--seorang dosen yang sedang menjalani pendidikan S3 di Monash University, Australia. Bukan hanya saya yang mengerutkan kening, ibunya sendiri pun sempat heran mengapa kedua buah hatinya begitu bersemangat bersekolah. Sementara di Indonesia, liburan sekolah adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh semua sebagian besar anak-anak. Ternyata oh ternyata, ini karena materi pendidikan di Australia yang tidak pernah memberatkan anak-anak. Pendidikan di sana rupanya lebih mengedepankan tujuan agar anak mencintai sekolah
The essence of learning at school is actually learning how to learn, learning to live. Maka, memang seharusnya inti dari belajar di sekolah adalah membekali anak didik untuk cinta belajar agar siap untuk selalu belajar dan siap hidup di dunia nyata. Bukankah sepanjang hidup memang kita harus selalu belajar? (Halaman 123)
Kurang lebih begitulah ide utama dari buku yang disusun oleh dua belas orang ini. Menggambarkan bagaimana pola pendidikan sekolah negeri di Australia yang telah memberikan kesan positif bagi keluarga para mahasiswa yang tergabung dalam MIIS. Buku ini mereka persembahkan bagi bangsa Indonesia yang sedang berjuang mereformasi sistem pendidikan. Tidak ada maksud untuk membandingkan sekolah negeri di sana dan sekolah negeri di Indonesia. Mereka hanya berharap bahwa buku ini dapat menginspirasi siapa saja yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia.

Well, saya pribadi cukup iri tercengang melihat bagaimana pola pendidikan di Australia, jauh dari pengalaman yang saya rasakan ketika sekolah dulu. Padahal yang diceritakan di sini sekolah negeri loh, bukan sekolah swasta.

Mengembangkan sikap percaya diri
Di bagian pertama, Novi Poespita Candra menceritakan mengenai serunya kegiatan rutin di sekolah yang dilaksanakan setiap hari Senin, di mana semua murid dari grade prep sampai grade 6 dikumpulkan di ruang serbaguna. Orang tua pun diundang untuk menghadiri acara yang biasa disebut assembly tersebut.

Salah satu kegiatan dalam assembly adalah berbagi cerita dan pengalaman di akhir pekan. Ketika Kepala Sekolah bertanya, siapa yang ingin menceritakan pengalamannya, para murid segera mengangkat tangannya dan berebut ingin berbagi cerita. Berbagai cerita pun mengalir dari mulut-mulut kecil itu. Ada yang pergi berenang bersama ayahnya, ada juga yang baru membeli kucing peliharaan. Hebatnya, Kepala Sekolah mengapresiasi cerita-cerita sederhana itu dengan ucapan yang sangat manis.
"I'm sure your new lovely cat is beautiful as you are, bring to school someday, we want to see it." (Halaman 15)
Melatih kepemimpinan
Masih dituturkan oleh penulis yang sama, acara assembly rupanya merupakan tanggung jawab beberapa murid di grade 6 yang ditunjuk sebagai leader. Ada leader olahraga, leader kesenian, leader kebersihan, dan lain-lain. Leader ini tidak sama dengan ketua kelas di sekolah Indonesia yang hanya bertugas mengambil kapur dan mengumpulkan tugas.
Para leader dilatih sikap dan keterampilan menjadi pemimpin seperti bagaimana bersikap pada adik-adik yang lebih kecil dan susah diatur, bagaimana membuat program yang bermanfaat, membangun kekompakan tim serta tidak ketinggalan mereka akan menyaksikan profil pemimpin dunia yang inspiratif untuk didiskusikan bersama. (Halaman 18)
Menghargai hal-hal sederhana
Setiap minggu, para leader tersebut mengumumkan student of the week. Mereka yang mendapat penghargaan bukan hanya murid yang berprestasi di bidang akademis, namun juga karena telah melakukan hal-hal sederhana.
"For Jessie, who being friendly student and helping new student in class." (Halaman 19)
Menumbuhkan sikap sportif
Di bagian kedua, Ahmad Bukhori menceritakan kegiatan yang mendukung kecintaan terhadap olahraga di sekolah kedua buah hatinya. Salah satunya yaitu Favourite Sports Team Dress-Up Day. Pada hari itu, semua murid, guru, bahkan Kepala Sekolah mengenakan kostum tim olahraga kesayangan masing-masing. Meskipun berbeda-beda, tapi tidak ada yang namanya saling mengejek ataupun menjelekkan.

Bukan hanya itu, panitia AFL (Australian Football League) juga rutin membagikan karcis gratis kepada murid sekolah. Setiap pertandingan selalu berjalan dengan tertib dan teratur. Tidak ada acara gontok-gontokan antar pendukung seperti pertandingan bola di negeri kita tercinta.
Tidak ada pemisahan zona tempat duduk berdasarkan warna kaos tim yang bertanding. Di belakang tempatnya duduk, dua orang pendukung tim Melbourne yang mengenakan kaos, syal, dan topi warna merah dan biru duduk berdampingan dengan dua orang pendukung tim Hawthorn yang mengenakan kaos dan syal berwarna kuning dan hitam. (Halaman 28)
Mementingkan kreativitas
Di bagian lain, Galuh Yuliani mengutarakan kekhawatirannya karena selama bersekolah di kindergarten di Australia, Abiel--putranya--tidak pernah diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Padahal sekembalinya ke Indonesia, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mata pelajaran di kelas 1 SD sudah menuntut kemampuan anak untuk membaca. Tentu saja terdapat dasar yang kuat sehingga Australia dan negara maju lainnya memutuskan untuk mengajarkan anak membaca di usia yang relatif 'tua'--7 tahun.
Otak kanan yang mengontrol empati, intuisi, kreativitas, dan fungsi-fungsi kritis lainnya, kabarnya tidak berkembang semudah otak kiri di fase berikut pada kehidupan anak. Sehingga, fungsi-fungsi inilah yang sebenarnya lebih penting untuk diasah di tahap awal perkembangan otaknya. (Halaman 51)
Melindungi adik kelas
Selanjutnya, Anita Sartika Devi menceritakan mengenai program buddies di sekolah Audrey--putri bungsunya. Dalam program tersebut, murid di kelas 4, 5, dan 6 diberi tanggung jawab untuk mendampingi adik kelas mereka di kelas 0, 1, 2, dan 3. Jadi, Audrey yang duduk di kelas 6 menjadi big buddy bagi Simone yang masih duduk di kelas 0. Big buddies tidak hanya bertugas untuk menjemput dan mengantar little buddies menuju tempat assembly, namun juga menemani bermain dalam beberapa kesempatan.
Konsep buddies ini sedemikian kuasa mengantisipasi potensi-potensi bullying atau ancam-mengancam di antara para siswa. Hampir tidak ada kejadian saling ancam apalagi sampai siswa dipalaki kakak kelasnya. (Halaman 102)
Masih banyak cerita lain yang tidak mungkin saya tuliskan satu per satu. Kalau saya tulis semua, bisa jadi satu buku dong, hihihi…. Yang pasti setiap pengalaman yang dituturkan kedua belas penulis ini, semuanya sangat menginspirasi. Mereka tidak hanya memperlihatkan bagaimana pola pendidikan di Australia, tetapi mengaitkannya juga dengan kondisi di Indonesia. Ada kekecewaan, pertanyaan, harapan, hingga alternatif solusi bagi pendidikan di Indonesia. Apalagi, disebutkan juga bahwa sebenarnya banyak sekolah di Indonesia yang memiliki potensi untuk menjadi lebih unggul.

Walaupun tema yang diangkat dalam buku ini tidak ringan, namun membacanya tidak akan terasa berat sama sekali. Dengan gaya penulisannya masing-masing--ada yang santai, agak serius, bahkan ada pula yang menyajikannya seperti cerita fiksi, para penulis menceritakan pengalamannya dengan cara yang mudah dipahami.

Rating
Tiga setengah dari lima bintang. Menurut saya, buku ini wajib dibaca oleh semua guru dan pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia.

8 comments:

  1. Wah... waahhh, kereen ya mak. Pak Anies Baswedan kudu dikirimi buku ini niiih.

    ReplyDelete
  2. asik klo semua sekolah mempunyai cara dan program membuat aanak2 betah di sekolah jadi anakpun tidak mudah terpengaruh pergaulan buruk

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju mak... energi udah habis utk kegiatan2 menyenangkan di sekolah...

      Delete
  3. bukunya ini kayak chicken soup gitu ta, mak? atau seperti buku teks pelajaran :D

    ReplyDelete
  4. Wih keren banget :D jadi penasaran pengen baca walaupun review udah lama tetep aja bikin penasaran

    ReplyDelete