Pages

Thursday, November 26, 2015

Review: Anak Bukan Kertas Kosong


Detail Buku
Judul: Anak Bukan Kertas Kosong
Penulis: Bukik Setiawan
Editor Materi: Dr. Wiwin Hendriani dan Dwi Krisdianto, S. Psi
Editor Bahasa: Gita Romadhona
Penerbit: PandaMedia
Tebal: 250 halaman
Cetakan: kedua, 2015
ISBN: 979-780-782-7
Harga: Rp 68.000

Review
Buku ini pada dasarnya mengajak kita para orang tua untuk menengok kembali gagasan tentang pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Menakjubkan! Karena sebenarnya pemikiran dan kritik beliau terhadap pendidikan pada masa kolonial dulu juga sesuai untuk sistem pendidikan nasional yang terjadi sekarang. Sistem pendidikan yang menyeragamkan kecerdasan anak dan menilai anak berdasarkan satu ukuran tunggal.

Berikut tiga pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang menginspirasi penulis untuk menyusun buku ini:
1. Setiap anak itu istimewa.
Hidup dan tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan dan kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya.
(Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, halaman 21)
2. Belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak. Belajar adalah proses membentuk pengetahuan, mengonstruksikan pemahaman.
Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu dipelopori atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri.
(Ki Hadjar Dewantara, Peringatan Taman Siswa 30 Tahun)
3. Pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak.
Pokoknya pendidikan harus terletak di dalam pangkuan ibu bapa, karena hanya dua orang inilah yang dapat berhamba pada sang anak dengan semurni-murninya dan seikhlas-ikhlasnya, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas.
(Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, halaman 382)
Saat ini, kita sedang memasuki zaman kreatif. Zaman dimana teknologi informasi berkembang dengan sangat cepat, zaman dimana keberadaan sumber daya alam semakin terbatas, zaman dimana produk-produk baru dan profesi-profesi kreatif bermunculan. Makanya, kita jangan sampai terlena, karena banyak tantangan di zaman kreatif yang harus dihadapi.

Coba direnungkan lagi, apakah di zaman kreatif ini kita:
  • Membuat karya, bukan hanya meniru
  • Memanfaatkan internet untuk mencari yang relevan, bukan hanya terpengaruh
  • Menggunakan media sosial untuk menemukan teman, bukan untuk mengumbar emosi
  • Mengunggah yang bermakna, bukan hanya mengunduh
  • Fokus pada kekuatan diri, bukan hanya fokus pada profesi
  • Menjadi manusia yang kreatif, bukan mengeksploitasi alam
(Halaman 30)

Hanya orang-orang kreatif yang bisa menjawab tantangan tersebut. Lalu bagaimana caranya agar anak-anak kita, calon generasi penerus bangsa bisa menjadi orang yang kreatif? Kita perlu mempraktikkan 'pendidikan yang menumbuhkan' kepada anak-anak kita. Karena anak ibarat telur.
Kita tidak bisa menetaskan telur dengan cara menekan dari luar, mengeluarkan isi telur sebelum waktunya, atau menggunakan cara pemaksaan lain. Ketika kekuatan dari luar menekan telur, benih kehidupan akan mati. Bayangkan telur tersebut adalah anak kita, apakah kita menekan keras dari luar atau menumbuhkan kekuatan dari dalam diri anak?
(Halaman 34)
Kadang, sebagai orang dewasa kita menganggap anak sebagai kertas kosong, yang bisa kita beri gambar dan warnai sesuka hati kita. Padahal, anak mempunyai kesukaan, kegemaran, kekuatan, dan minatnya sendiri. Sayangnya, saat ini sistem pendidikan nasional menjejali anak kita dengan kurikulum tunggal. Dimana setiap anak harus mempelajari begitu banyak pengetahuan yang seragam yang belum tentu dia minati. Dampaknya, anak akan berperilaku baik hanya ketika berada di hadapan orang tua, kepercayaan dirinya menurun, dan potensinya menjadi terabaikan.
Pendidikan itu bukanlah menanamkan, melainkan menumbuhkan. Pendidikan bukanlah mengubah beragam keistimewaan anak menjadi seragam, melainkan menstimulasi anak untuk menjadi dirinya sendiri.
(Halaman 45)
Lalu bagaimana pendidikan yang menumbuhkan itu? Anggaplah anak kita adalah sebuah benih. Seperti benih bunga yang mempunyai karakteristik tersendiri dan butuh perlakuan khusus, mulai dari tempat, komposisi tanah, kadar air, hingga jumlah cahaya. Perlakuan untuk bunga matahari tentu tidak bisa disamakan dengan perlakuan untuk bunga suplir.
Ketika berbagai jenis bunga diperlakukan seragam, pasti ada bunga yang mengering dan mati atau tumbuh, tetapi sekadar tumbuh, tidak optimal pertumbuhannya.
(Halaman 70)
Tugas kita sebagai orang tua untuk menjadi 'petani' atau 'pekebun' bagi anak-anak kita. Yaitu dengan cara memberikan stimulasi yang tepat sesuai dengan karakteristiknya (kecerdasan majemuk yang dimilikinya).

Dimulai dari mengenalkan cara belajar yang seayik bermain, pahami bahwa setiap anak mempunyai beragam kecerdasan, ketahui prinsip dalam mengembangkan bakat anak, ketahui siklus perkembangan bakat anak, ketahui apa peran orang tua dalam pengembangan bakat anak.

Bagaimana caranya? Semuanya diuraikan secara lengkap di buku ini. Bahkan di bagian akhir, disertakan panduan awal pengembangan bakat anak dan aktivitas orang tua yang dapat mengembangkan bakat anak. Loh, orang tua? Iya, karena setiap orang tua juga istimewa. Makanya, agar dapat membimbing anak dengan optimal, orang tua harus mengenali diri dan kondisinya dulu dong.

Rating
Empat setengah dari lima bintang. Very recomended! Gaya penulisannya ringan dan mengalir, tapi membuat kepala saya langsung penuh :D

7 comments:

  1. Belajar sambil bermain pasti anak2 suka ya, Mba.

    Kadang aku masih ke bawa saat diajarin wkt kecil jadi suka melotot juga ke anak

    ReplyDelete
  2. setuju mbak, ana itu istimewa dn punya potensi bsar...tinggal orang tuanya saja yg hrus mampu mndidiknya

    ReplyDelete
  3. Waah 4,5 yaa.. Pengen bacaa jadinyaa ^^

    ReplyDelete