Identitas Buku
Judul: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Penulis: Dian Purnomo
Editor: Ruth Priscilia Angelina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: pertama, 2020
Tebal: 320 halaman
ISBN: 9786020648453
Harga: Rp 93.000
Dibaca
14-21 April 2021
Jalan Cerita
Magi Diela, seorang pegawai honorer di Dinas Pertanian Waikabubak, tiba-tiba menghilang. Rencananya, hari itu Magi akan memberikan penyuluhan pertanian ke Desa Hupu Mada. Namun dalam perjalanan ke sana, dia diculik dan dibawa menggunakan mobil pickup yang biasa digunakan untuk membawa hewan ternak.
Pada awalnya, Magi berusaha melawan. Sayangnya, tenaga perempuan mungil ini enggak sebanding dengan lima laki-laki muda yang menculiknya. Sebagai balasannya, dia malah mendapatkan pelecehan seksual.
Magi Diela merasa sangat rendah layaknya seekor binatang. (Halaman 42)
Di sepanjang jalan, Magi enggak berhenti memikirkan siapa yang berada di balik penculikan ini. Ketika mobil memasuki Patakaju dan terdengar sambutan kemenangan bagi seseorang di kampung ini yang telah berhasil mendapatkan perempuan untuk dikawininya, Magi mulai mengingat Leba Ali.
Rasa takut dan marah berlomba-lomba menempati pikiran Magi. Dia takut karena tahu kekuatan Leba Ali. Kedekatan lelaki itu dengan orang-orang berkuasa, harta yang dimilikinya, sekaligus kegenitannya. (Halaman 44)
Magi ditarik turun dari mobil, kemudian seorang perempuan menghampiri dan memercikkan air ke wajahnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi rileks dan dia enggak mengingat apa-apa lagi.
Ketika bangun, seluruh tubuh Magi terasa sangat sakit. Setelah perlahan menyadari semuanya, dia pun meraung dan berteriak begitu kencang sampai tenaganya habis. Ibu Leba Ali datang dan mencoba menghiburnya.
"Ko su ada di tempat aman. Kami semua adalah keluarga.""Sa tidak akan kawin deng laki-laki yang kasih culik sa.""Kalau ko tidak mau kawin deng Leba Ali, tidak ada laki-laki lain yang mau deng ko.""Biar saja.""Ko su tidak perawan lagi."(Halaman 51)
Tentu saja Magi merasa sangat marah dan jijik. Dia diperkosa dalam keadaan enggak sadar, sudah begitu dipaksa menikah dengan pemerkosanya pula.
Review
Dari beberapa buku bertema perempuan inspiratif yang ingin saya baca dan review di bulan ini, akhirnya pilihan saya jatuh pada Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Selain tertarik karena review-nya yang bagus (rating 4,65 di Goodreads) dan desain sampulnya yang cantik (berwarna merah muda dengan lukisan yang artistik), saya juga penasaran karena temanya yang sangat unik dan ditulis berdasarkan kisah nyata.
Yup, cerita ini benar-benar terjadi di Sumba. Penulis membuat cerita ini berdasarkan pengalaman yang didengarnya ketika mendapatkan kesempatan residensi dari Komite Buku Nasional dan Kemendiknas untuk tinggal selama enam minggu di Waikabubak.
Lalu kesimpulannya? Memang sangat bagus dan menginspirasi, tapi hati ini rasanya teriris-iris. Bahkan ketika membuat tulisan ini pun, saya terus menghela napas.
Eh, belum apa-apa sudah membahas kesimpulan. Tenang, akan saya bahas semuanya kok.
Kematian adalah kepastian, ada yang membiarkan kedatangannya menjadi misteri, ada yang menjemputnya dengan paksa. Magi Diela mencoba menjemput kematian dengan menggigit pergelangan tangannya sendiri sampai robek, berharap nadinya terkoyak dan darah menetes habis segera. (Halaman 7)
Novel ini dimulai dengan paragraf pembuka yang to the point, langsung menuju pada inti cerita. Tanpa banyak berbasa-basi dan menghadirkan adegan yang enggak perlu, penulis menunjukkan konflik yang terjadi pada Magi. Saya dibuat ngilu, tetapi juga penasaran mengapa Magi sampai nekat berbuat seperti itu.
Selanjutnya dengan alur maju dan sedikit adegan flashback di beberapa bab awal, saya akhirnya mengetahui apa penyebabnya. Bagaimana Magi tiba-tiba menghilang dan membuat keluarganya di Kampung Karang kebingungan, serta bagaimana kronologi kejadian yang sebenarnya menimpa Magi.
Yappa mawine atau kawin tangkap.
"Sa sebagai wakil dari keluarga Leba Ali ada datang untuk menyampaikan kabar bahagia. Ama punya anak nona, Magi Diela Talo, ada di kami punya rumah. Kami punya adik, Leba Ali, Sarjana Pendidikan, ada keinginan untuk ambil anak nona sebagai istri." (Halaman 18)
Ya, Magi diculik, ditangkap, dan 'dijinakkan' untuk dikawini oleh Leba Ali, lelaki beristri yang mata keranjang dan sudah mengincar Magi sejak gadis itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Yappa mawine merupakan tradisi dalam adat Sumba yang masih bertahan hingga saat ini. Sayangnya, praktiknya semakin melenceng dari budaya aslinya.
Semua adegan dalam novel ini memang berada di Sumba sebagai latar tempatnya. Penulis cukup detail menggambarkan berbagai keadaan di Sumba, sehingga saya bisa dengan mudah membayangkan bagaimana suasana di sana. Melengkapi deskripsi tersebut, penulis juga menyelipkan beberapa foto. Bonus yang menyenangkan. Tetapi sayang, warnanya hitam putih.
Wawasan saya tentang Sumba pun bertambah, terutama mengenai kehidupan masyarakat adatnya. Di satu sisi, memang sudah modern. Bisa diketahui dari para tokohnya yang menggunakan gawai, internet, dan Whatsapp untuk berkomunikasi. Namun di sisi lain, budaya dan adat istiadatnya pun masih sangat kuat. Bisa dilihat dari kepercayaan yang dianut, ritual-ritualnya, upacara adat, rumah adat, dan lain-lain. Termasuk acara adat wulla poddu (bulan hitam) yang diambil menjadi judul dalam novel ini.
Dari penggambaran tersebut, saya menangkap bahwa status perempuan dalam masyarakat adat Sumba dianggap lebih rendah. Di dalam rumah adat, ada ruang pamali di mana perempuan enggak bisa menginjakkan kakinya di sana. Perempuan hanya boleh masuk rumah melalui pintu samping. Perempuan harus selalu mengalah, enggak boleh melawan. Begitu juga dalam proses kawin tangkap, kesepakatan dan penentuan jumlah belis (mahar) dilakukan antar keluarga penculik dengan keluarga perempuan, tanpa melibatkan perempuan itu sendiri.
Ama sayange,Sa minta maaf karena sudah menjadi anak perempuan untuk Ama. Seandainya sa lahir sebagai laki-laki, mungkin cerita kita akan berbeda.Sekarang semua di tangan Ama. Cuma Ama yang bisa kasih selamat sa. Perkawinan ini adalah urusan laki-laki, jadi Ama sa yang bisa hentikan atau teruskan urusan ini.(Halaman 69)
Suasana Sumba sebagai latar tempat di novel ini semakin terasa kental karena penulis menggunakan bahasa daerah Sumba dalam percakapan yang diucapkan oleh para tokohnya. Enggak perlu khawatir bingung, karena ada catatan kaki yang menjelaskan arti dari kata atau istilah dalam bahasa daerah tersebut. Setelah membaca seperempat bagian novel, saya pun mulai terbiasa dengan dialog khas Sumba.
Meski tinggal di Sumba, dibandingkan perempuan lain, pemikiran Magi memang lebih terbuka. Wajar, karena dia pernah kuliah di Jogja. Setelah mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, Magi kembali ke Sumba untuk memajukan pertanian di tanah kelahirannya. Makanya, ketika menjadi korban kawin tangkap, Magi enggak mau menerima begitu saja. Dia berusaha untuk melawan bagaimanapun caranya.
Saya salut sekali dengan sikap yang dimiliki Magi. Begitu manusiawi. Sebagai perempuan, dia marah dan kecewa kepada ayahnya. Namun sebagai anak, dia juga masih begitu mencintai dan menghormati lelaki itu.
Selain Magi sebagai tokoh utama, terdapat beberapa tokoh pendukung di dalam novel ini. Ada Leba Ali, Ama Bobo (ayah Magi), Ina Bobo (ibu Magi), Rega (kakak Magi), Tara (sahabat dan kakak ipar Magi), Dangu (sahabat Magi), Mama Mina, Bu Agustin, dan lain-lain. Semua tokoh tersebut memiliki karakter yang kuat dan berperan dalam membangun jalan cerita.
Ama Bobo dan Dangu adalah dua tokoh laki-laki yang paling dekat dengan Magi. Rasanya sedih sekali mendapati mereka enggak bisa melindungi Magi. Demi nama baik keluarga dan menjunjung tinggi adat istiadat, Ama Bobo menerima lamaran dari Leba Ali. Padahal sebelumnya Magi yakin sekali ayahnya berbeda dengan ayah teman-temannya. Buktinya, ayahnya rela menjual tanah demi menyekolahkan Magi ke Pulau Jawa.
Begitupun dengan Dangu. Meski sangat ingin, dia enggak bisa berbuat lebih banyak untuk membantu menyelamatkan Magi karena dibatasi oleh suku dan adat.
Mengapa perbuatannya menyelamatkan sahabat sendiri dianggap dosa sementara perlakuan bejat Leba Ali dianggap memuliakan adat? (Halaman 121)
Tema novel ini memang berat, jumlah halamannya pun cukup tebal. Namun jalan cerita yang enggak terlalu rumit, tempo yang cepat, dan terbagi ke dalam 57 bab yang singkat (masing-masing babnya hanya terdiri dari 4 hingga 8 halaman), membuat novel ini menjadi sangat mudah untuk diselesaikan. Rasanya enggak ingin berhenti untuk membalik setiap halamannya.
Ditambah lagi, konflik yang dialami Magi benar-benar mengaduk-aduk perasaan saya. Walau menggunakan sudut pandang orang ketiga, penulis secara lihai berhasil membuat saya turut merasakan emosi yang dialami oleh Magi. Takut, tak berdaya, marah, kecewa, sedih, bimbang, tegang, dan lain-lain. Dengan segala emosi tersebut, enggak ada kesempatan untuk merasa bosan.
Novel dengan label 17+ ini memang mengandung beberapa adegan kekerasan fisik dan seksual. Makanya, pada buku cetakan terbaru, sudah dilengkapi dengan tulisan 'Trigger Warning' di sampulnya.
Untungnya, perjuangan yang dilakukan Magi berbuah manis. Setelah adegan menegangkan dan aksi 'gila' Magi pada puncak konflik, novel ini ditutup dengan ending yang cukup memuaskan.
"Dong terlalu gila untuk dilawan." (Dangu, halaman 248)"Sa lebih gila dan juga tidak bisa dilawan.” (Magi, halaman 309)
Rating
Empat setengah dari lima bintang.
Magi memang tokoh fiksi dan Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam pun hanya cerita fiksi. Namun kawin tangkap benar-benar terjadi. Membayangkan di Sumba sana masih ada perempuan yang masih menjadi korban kawin tangkap, rasanya sakit sekali hati ini. Nyeseuk....
Makanya, enggak salah saya memilih Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam untuk review buku bertema perempuan inspiratif. Perkembangan karakter dan perjuangan Magi sang tokoh utama, memang sangat menginspirasi. Segala cara dia lakukan demi mendapatkan kemerdekaan dan harga dirinya, haknya yang dirampas dengan mengatasnamakan adat istiadat.
Magi bertransformasi dari perempuan tak berdaya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, menjadi perempuan yang lebih kuat dan berani dengan melakukan usaha yang lebih cerdas, agak nekat, dan menurut saya sangat 'gila'. Pengorbanan tersebut dia lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk semua perempuan Sumba.
Wahai leluhur, ini rasanya tidak adil, tapi akan sa jalani. Berhenti membuat kami merasa seperti barang, yang bisa ditukar dengan hewan, yang dihargai hanya karena kami pung rahim. (Halaman 147)
Penulisnya pun, Dian Purnomo, lebih menginspirasi. Melalui buku ini, beliau menunjukkan perlawanannya terhadap tradisi kawin tangkap di Sumba. Dikemas secara apik dalam bentuk cerita fiksi, pesan dan kritik di dalamnya tersampaikan dengan baik. Two thumbs up....
Semoga cerita yappa mawine yang saya dengar tahun lalu, tidak akan pernah terjadi lagi. (Catatan Penulis)
~~~