Penerbit: Diva Press
Penyusun: Bintang Berkisah
Ukuran: 13.5 x 20.5 cm
Tebal: 374 cm
Cetakan: I (Januari 2013)
ISBN: 9786027640559
Harga: Rp 45.000
Sinopsis
Serangkaian surat cinta dikirimkan oleh Ramu kepada seorang wanita teman masa kecilnya, tiga puluh tahun silam, Kisha. Dalam surat-surat tersebut, Ramu mengungkapkan kenangan-kenangannya tentang cinta terpendamnya, kisah perjalanan hidupnya, serta pemikirannya dalam menghadapi setiap warna yang tertoreh dalam hidupnya.Suratnya dimulai dengan cerita tentang kenangan masa kecil yang Ramu dan Kisha habiskan bersama di sebuah kampung kecil. Dalam surat itu, Ramu mengungkapkan perasaan cintanya yang diawali oleh rasa persahabatan. Sayang, kebersamaan keduanya harus berakhir saat Ramu dan keluarganya pindah ke kota gara-gara ayah Ramu terlilit utang.Dalam surat itu pun Ramu menceritakan kehidupannya selepas meninggalkan kampung halamannya. Berbagai peristiwa pahit mengiringi perjalanan hidupnya. Kehilangan ayah, terpaksa putus kuliah untuk menghidupi keluarga. Lantas, ibunya meninggal. Tak lama kemudian, anak semata wayangnya, Raihan, pun menyusul setelah terserang demam berdarah. Tak ketinggalan kehidupan rumah tangganya lambat laun kandas.Sungguh, sebuah kisah melodramatik yang demikian menyentuh. Dan, surat-surat ini dikirimkan Ramu untuk Kisha, seminggu sebelum hukuman mati dilaksanakan.Pertanyaannya: siapakah sebenarnya sosok Ramu hingga membuat dirinya divonis hukuman seberat itu? Lalu, bagaimanakah nasib Kisha menghadapi kenyataan demikian?
Review
Malas, itulah kesan awal saya saat membaca judul buku ini. Pertama, karena saya membayangkan bahwa buku berisi kumpulan surat cinta ini akan dipenuhi ungkapan-ungkapan cinta dengan bahasa sastra tingkat tinggi yang sulit saya pahami seperti karya-karya Kahlil Gibran atau Paulo Coelho. Kedua, karena berbentuk monolog, saya pasti akan bosan membacanya. Namun untungnya, penulis buku ini -@bintangberkisah- memberikan sneak preview bab pertama-nya, sehingga saya dapat mengintip dulu surat pertama dalam buku ini. Setelah membaca surat pertama, ternyata kesan awal saya terhadap buku ini salah. Akhirnya saya pun tidak ragu untuk membeli bukunya agar dapat membaca surat-surat berikutnya.
Jatuh cinta, itulah yang saya rasakan saat melihat buku ini. Gambar tumpukan amplop-amplop surat yang diikat dengan pita berwarna merah tampak begitu klasik dan membuat sampul depan buku ini terlihat manis. Saya juga menyukai desain layout bagian dalamnya. Sebuah gambar amplop di setiap judul bab dan sebuah hiasan minimalis di setiap halaman membuat buku ini menjadi semakin cantik.
Teruntuk Kisha yang kurindukan siang malam.Aku menduga bahwa engkau sedikit kaget karena sekonyong-konyong menerima surat dari yang kau pikir adalah orang asing. Padahal, kita pernah saling mengenal, Kisha. Apakah kau masih mengingatku? Jika sudah benar-benar lupa, dengan senang hati aku akan mengingatkanmu - jika kau tak keberatan. (Halaman 9)
Begitulah kalimat-kalimat pembuka yang dituliskan Ramu pada surat pertamanya untuk Kisha. Surat pertama sampai surat keenam memang berisi cerita Ramu tentang kenangannya bersama Kisha. Mulai dari perkenalan mereka, kisah persahabatan mereka, rasa cinta sekaligus cemburu Ramu pada Kisha yang selama ini terpendam, hingga akhirnya masalah keluarga Ramu yang menyebabkan mereka harus berpisah. Sungguh, saya merasa iri pada Kisha karena begitu dalamnya cinta Ramu sehingga bisa menceritakan perasaannya di masa lalu dengan sangat detail.
Surat-surat ini membuat saya tergelitik dan tersenyum karena ikut merasakan serunya sekaligus mirisnya cinta pertama (atau mungkin cinta monyet) yang dirasakan oleh Ramu. Meskipun cinta itu berasal dari seorang Ramu kecil yang masih berusia belasan tahun, namun saya sangat menikmati setiap gejolak perasaan yang disampaikan oleh Ramu. Menurut saya, penulis buku ini telah membuat surat cinta dengan kalimat-kalimat yang mengalir dan sangat manis. Perbendaharaan kosakatanya pun luas, jauh dari kata membosankan. Termasuk saat Ramu digambarkan merasakan sedih yang tak terkira karena harus pindah ke kota bersama keluarganya dan meninggalkan Kisha.
Hidupku ke depan masih teramat panjang. Pada saatnya nanti, tiba-tiba aku sudah duduk di salah satu kursi roller coaster kehidupan yang siap meluncur deras. Ternyata apa yang kurasakan saat perpisahan itu hanyalah permulaan. (halaman 140)
Ternyata perpisahannya dengan Kisha adalah awal dari pahitnya kehidupan yang dijalani Ramu. Pada awalnya, semua memang terlihat lebih baik. Kondisi ekonomi keluarga Ramu yang membaik, prestasi akademis Ramu yang menonjol, serta perubahan fisik Ramu menjadi pria yang gagah dan tampan. Ramu pun akhirnya menemukan seorang wanita dan menjalin hubungan asrama dengannya, namun kebahagiaan itu berubah seratus delapan puluh derajat semenjak wanita itu meninggalkan Ramu tanpa alasan yang jelas. Keadaan semakin memburuk saat ayah Ramu terlibat suatu masalah besar dan tidak lama kemudian meninggal.
Syukurlah Ramu akhirnya mendapatkan pekerjaan, menikah dan mempunyai anak. Namun rupanya lagi-lagi Ramu harus berduka. Ibu yang sangat disayanginya meninggal, dan tidak lama kemudian anaknya yang masih balita pun meninggal. Membuat Ramu akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan istrinya.
Lagi-lagi penulis buku ini membuat perasaan saya bagaikan diaduk-aduk. Naik turunnya kondisi kehidupan Ramu terasa nyata dan begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari. Untungnya kali ini penulis menggambarkan Ramu sebagai sosok yang lebih dewasa dan tegar.
Dalam keramaian dunia yang hiruk pikuk, betapa sepi yang sedang kurasakan. Lukaku telah sedemikian lengkap. Namun, satu hikmah besar yang kudapat saat sedang dirundung duka dan kesendirian. Aku menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Aku tak lagi memiliki sekutu dan pengalihan selain hanya berserah kepada-Nya. (halaman 292-293)
Cerita yang dituliskan Ramu di beberapa surat terakhirnya membuat saya terkejut. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa kedekatan Ramu dengan Tuhan-Nya membuat dia memutuskan untuk pergi ke Palestina. Setelah kembali ke tanah air, berkat uang yang dipinjami kenalannya di Palestina, usaha konveksi yang dirintisnya pun berhasil. Sayangnya kebencian Ramu pada koruptor telah membuatnya terjebak pada perbuatan kriminal berat dan akhirnya divonis hukuman mati.
Sejak awal, saya menyadari bahwa penulis buku ini tidak hanya ingin mengangkat cerita cinta dalam bukunya. Persahabatan, hubungan orang tua dan anak, percintaan, dan pencarian jati diri semuanya terangkum dalam tujuh belas surat ini. Tetapi saya merasa sedikit terganggu dengan cerita di bagian akhir buku ini. Menurut saya, terasa agak dipaksakan. Namun ini hanya masalah selera.
Secara keseluruhan, saya mengacungi jempol untuk karya perdana penulis buku ini. @bintangberkisah tidak hanya berhasil membuat perasaan saya hanyut dalam rangkaian kisah perjalanan hidup seorang Ramu, namun juga telah membuat saya merenung karena banyak sekali pelajaran hidup yang disisipkan dalam buku ini tanpa terkesan menceramahi.
Rating
Saya memberikan empat dari lima bintang untuk buku ini.
ulasannya menarik sekali :)
ReplyDeletekalau isha sampai sekarang masih susah nulis review.. hehe
saya juga masih belajar :D
DeleteTerlihat pentingnya resensi, sebab dari itu pembaca bisa tertarik untuk membeli dan paling tidak terhindar dari "beli kucing dalam karung"
ReplyDeleteSaya jd pengin beli nih, Mbak :)
betul, saya juga suka baca resensi orang lain dulu sebelum membeli buku :)
DeleteWah..., jd pengen bca bukunya.
ReplyDeleteSalam kenal, Mbak. Ditunggu kunjungan baliknya :)
salam kenal :)
DeleteMenurut saya tulisan Paulo Coelho tidak seperti Kahlil Gibran. Lebih menyentuh realita. Kalau karyanya Gibran, satu buku pun saya tidak pernah tamat. Huft.
ReplyDelete