Sunday, May 25, 2014

Memetik Pelajaran Hidup Dari Kisah Anak-Anak Mamak

Dok. Pribadi
Detail Buku
Judul: Amelia
Penulis: Tere Liye
Editor: Andriyati
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Oktober 2013
Tebal: vi + 392 halaman
ISBN: 978-602-8997-73-7
Harga: Rp 60.000 Rp 51.000 (Beli di bukabuku.com)

Resensi
Namanya Amelia, namun semua orang biasa memanggilnya Amel. Sebagai anak bungsu Bapak dan Mamak, tentunya Amel adalah anak yang paling disayang. Tapi yang Amel rasakan tidak begitu. Dia selalu iri pada ketiga kakaknya, terutama Kak Eli, kakak sulungnya. Amel kesal karena Kak Eli bisa selalu menyuruhnya, membentaknya, dan meneriakinya. Padahal menurut Bapak, Kak Eli berbuat seperti itu untuk menunjukkan kasih sayang dan tanggungjawabnya.

Tidak puas dengan jawaban Bapak, Amel malah memakai sikat gigi Kak Eli untuk mencuci sepatu sekolahnya sebagai tindakan balas dendam. Tentu saja hal ini membuat Amel mendapatkan hukuman. Namun Amel akhirnya dapat memahami nasihat Bapak ketika kakinya bengkak karena terantuk tunggul di tengah hutan saat hari sudah sangat sore bersama Kak Eli. Ucapan tulus Kak Eli membuat Amel sadar.
"Bukan karena Mamak akan marah karena aku tidak menjaga kau. Tetapi karena kau adalah adik perempuanku. Aku tidak akan pernah meninggalkan kau, Amel." (hal. 73)
Selain cerita tentang hubungan Amel dan kakaknya, masih ada tiga cerita lain dalam buku ini. Kisah awal persahabatannya dengan Noris, sangat menguras emosi. Bagi Pak Bin, Amel adalah murid yang istimewa. Karena itulah, Pak Bin memintanya untuk membantu Noris (murid paling nakal di sekolah). Kenakalan Noris dilatarbelakangi oleh masalah di keluarganya. Setiap Amel bertanya tentang ibunya, Noris selalu marah. Amel hampir menyerah. Namun Pak Bin terus menyemangatinya.
"Kau harus bersabar, Amel. Bersabar juga usaha terbaik. Cepat atau lambat, keajaiban akan tiba. Dan ketika tiba, bahkan tembok paling keras pun akan runtuh. Batu paling besar pun akan berlubang oleh tetes air hujan kecil yang terus-menerus." (hal. 161)
Kisah lainnya bercerita tentang kegundahan Amel. Tradisi 'menunggu rumah' di kampungnya membuat Amel gelisah. Ditambah lagi, kedua kakaknya (Pukat dan Burlian) selalu menggodanya tentang hal ini. Tradisi ini mengharuskan Amel sebagai anak bungsu tetap tinggal di rumah merawat orang tua, meskipun sudah berkeluarga. Padahal Amel ingin sekolah setinggi mungkin. Keinginan itu didukung oleh Bapak. Namun Wak Yati pernah menasihatinya.
"Sejauh-jauhnya kau pergi, melihat dunia, rumah kita tetap ada di sini. Tanah kelahiran, tempat dibesarkan." (hal. 265)
Kisah terakhir bercerita tentang perubahan. Suatu hari, Amel memberanikan diri mengutarakan pendapatnya dalam pertemuan Tetua Kampung untuk mengganti seluruh batang kopi di ladang dengan bibit yang lebih berkualitas, agar tidak ada lagi ladang yang gagal panen. Usul tersebut diterima.

Amel dan teman-temannya mulai menyemai biji kopi terbaik yang dia temukan di hutan bersama Paman Unus. Sayangnya, tidak semua warga kampung mau melaksanakan usul tersebut. Bersama Geng Empat Buntalnya, Amel berjuang membujuk seluruh warga kampung. Paman Unus berusaha membesarkan hati mereka.
"Siapa pun yang tidak mengambil langkah pertama untuk memulai sesuatu, maka dia tidak akan pernah melihat hasil sesuatu tersebut. Tidak akan pernah." (hal. 357)
Dengan latar sebuah perkampungan kecil di Lembah Bukit Barisan, buku pamungkas dari Serial Anak-Anak Mamak ini masih menyajikan kisah sederhana dari keluarga sederhana. Amelia memang bercerita tentang kehidupan anak perempuan usia sekolah dasar, namun ada begitu banyak hikmah dan pelajaran hidup yang bisa diambil pembaca dari kisah sederhana ini.
Kepolosan Amel, hubungan antar saudara, kasih sayang Mamak, kebijaksanaan Bapak, persahabatan, guru yang amanah, menunjukkan bahwa keterbatasan yang mereka miliki tidak dapat menghalangi keteguhan tekad untuk selalu berbuat baik. Semua itu dituangkan penulis dengan gaya penuturan yang ringan dan menarik.

Namun, bukan berarti buku ini tidak memiliki kekurangan. Gaya bahasa Amel yang terlalu dewasa untuk anak seumurannya, terasa cukup ganjil. Begitu juga dengan kejutan pada epilog yang terasa berlebihan. Walaupun begitu, buku ini pantas dijadikan sebagai bahan bacaan wajib oleh setiap keluarga.

Rating
Empat dari lima bintang.

16 comments:

  1. gaya bahasa anak yang seperti dewasa mungkin karena penulisnya tidak menempatkan diri sebagai anak-anak ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. sebenernya di cerita dibilangin klo amel memang cerdas, lebih dari anak-anak seusianya... tp tetep aja saya susah bayanginnya :D

      Delete
  2. Sepertinya bukunya seru nih..

    ReplyDelete
  3. belum pernah baca yang ini. lagi baca ayahku bukan pembohong. etapi kenapa aku kurang sreg sama covernya ya, mak :( mungkin karena udah biasa liat cover yang lebih menjual

    ReplyDelete
    Replies
    1. hwaa saya blum baca ayahku bukan pembohong...

      setuju, covernya kurang oke menurut saya juga :D

      Delete
  4. Anak kecil gampang ngambek biasanya. Untung Amelnya gak keburu ngambekan y, Mba.

    ReplyDelete
  5. Assalammualaikum. Informasi bagi para bunda, Kini ada Pusat Herbal Ibu Hamil dan Kewanitaan. Monggo utk berkunjung (Obat Herbal Ibu Hamil dan Kewanitaan). Terima Kasih

    ReplyDelete
  6. Kisah sederhana dan keluarga sederhana tapi...kalau namanya tere liye pasti eksekusinya oke banget

    ReplyDelete
  7. Buku2 tere liye emang keren ya mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya suka klo temanya keluarga, klo cinta2an, kurang sreg sama karyanya tere liye :D

      Delete