Tuesday, November 22, 2016

Review: The Geography of Faith


Detail Buku
Judul: The Geography of Faith - Pencarian Tuhan di Tempat-Tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penyunting: Zahra Haifa
Penerbit: Penerbit Qanita
Cetakan: I, September 2016
Tebal: 500 halaman
ISBN: 978-602-402-040-8
Harga: Rp 85.000

Review
Kesan pertama saya ketika melihat buku ini yaitu "Aih, lucunya...." Lihat saja desain sampul depannya yang cute banget. Jav juga sampai ikutan suka dan asyik bermain mobil-mobilan di atas permukaannya. Namun kesan tersebut langsung berkurang setelah saya membaca judulnya, duh berat banget temanya. Apalagi saat mengetahui jumlah halamannya, wuih sangat tebal. 

Tetapi kenyataan tersebut tidak mengurangi minat saya untuk membaca isinya. Saya memang belum pernah membeli dan membaca buku-buku filsafat, makanya penasaran. Dan ternyata seru juga sih. 

Jadi, buku yang memiliki judul asli Man Seeks God: My Flirtation with The Divine ini merupakan memoar dari penulisnya, mantan koresponden untuk National Public Radio (NPR). Semuanya berawal dari pertanyaan seorang suster di rumah sakit, "Sudahkah kau menemukan Tuhanmu?"
"Kenapa?" tanyaku begitu aku bisa bernapas lagi. Apakah tak lama lagi aku akan berjumpa dengan-Nya? Apakah kau telah melihat CT scan-ku? Kau tahu sesuatu? Dia tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan ekspresi bijak dan seolah-olah tahu akan sesuatu, lalu meninggalkanku sendirian bersama pikiran kalut serta jubah pasien yang tidak memadai ini. 
(Halaman 15)
Rupanya, dia tidak mengidap penyakit kanker atau penyakit mematikan lainnya, hanya gangguan pencernaan. Namun pertanyaan suster tadi terus mengganggunya. Dia terlahir sebagai orang Yahudi, tetapi masih sangat meragukan eksistensi Tuhan.
Karena sepertinya tak ada kategori spiritual yang cocok untukku, aku merasa harus menciptakannya: Confusionist. Diambil dari kata confused atau bingung, kami Confusionist memang bingung--amat sangat bingung--dalam soal Tuhan dan agama.
(Halaman 18)
Maka selanjutnya dia pun mencari tahu ada berapa banyak Tuhan dan agama di dunia ini. Kemudian panik setelah mengetahui bahwa saat ini sudah terdapat sembilan ribu sembilan ratus agama, dengan dua atau tiga agama baru muncul setiap hari. Akhirnya dia mencetak daftar agama tersebut serta menyortirnya. Hingga hanya tersisa delapan keyakinan.

Delapan aliran kepercayaan tersebut yaitu Sufisme, Buddhisme, Fransiskan, Raelisme, Taoisme, Wicca, Syamanisme, dan Kabbalah. Tidak tanggung-tanggung, dia pun melakukan perjalanan ke berbagai kota-kota sumbernya dan mencari pembimbing untuk lebih mengenal delapan aliran kepercayaan yang telah dipilihnya.
Aku sengaja tidak memilih agama secara utuh, tetapi sedikit irisannya. Irisan Tuhan.
(Halaman 33)
Kota pertama yang dia kunjungi yaitu Istanbul di Turki. Tempat Rumi--sang pujangga Islam--menuliskan syairnya dan tempat asal para darwis yang berputar. Di kota ini penulis berusaha untuk berlatih sema, upacara berputar.
Sema bukanlah tarian. Sema adalah semacam kemurnian, namun pengertiannya sukar dijabarkan dengan kata-kata. Sema seperti mencicipi buah. Sulit dijelaskan, tetapi lezat. Sema adalah saat kesadaran menjadi murni. Saat hatimu berubah dengan terus-menerus berzikir, mengingat Allah.
(Halaman 88)
Kota selanjutnya yaitu Kathmandu di Nepal. Kota tersebut memiliki sejarah agama Buddha yang dalam. Di sini penulis belajar untuk bermeditasi.
'Agama' berasal dari bahasa Latin religio, yang artinya 'mengikat', tetapi Buddhisme justru menjunjung ketidakterikatan. Buddhisme agama yang melepaskan--melepaskan konsep jiwa, Tuhan, dan akhirnya dirimu sendiri.
(Halaman 175)
Kota berikutnya yaitu New York di Amerika Serikat. Pada sebuah penampungan tunawisma di Bronx Selatan, dia belajar untuk lebih mengenal Fransiskan, ordo Katolik.
Fransiskus percaya bahwa kita harus mengosongkan diri--dari harta benda, gagasan, kebanggaan--sebelum Tuhan bisa memasuki kehidupan kita. Bagi Fransiskus, kemiskinan tidaklah merepresentasikan perbudakan, tetapi kebebasan, karena dengan tidak memiliki apa-apa, kita tak perlu mempertahankan apa-apa.
(Halaman 207)
Penulis kemudian menghadiri pertemuan Raelian yang mewah di Las Vegas. Raelian adalah agama terbesar berbasis UFO. Mereka percaya bahwa semua makhluk hidup di bumi diciptakan oleh Elohim.
Raelian memuja teknologi secara ekstrem ('Sains adalah agama kita'), tetapi bukankah kita semua seperti itu? Bukankah kita memandang teknologi--bukan teknologi tertentu, tetapi konsep teknologi itu sendiri--nyaris sebagai kekuatan ilahi untuk kebaikan di muka bumi? Teknologi bukan hanya agama kita, melainkan sihir kita.
(Halaman 282)
Perjalanan pencarian Tuhan kemudian dilanjutkan dengan mengikuti tur agama Tao di Wuhan, Cina. Penulis berharap di kota ini dia dapat memperbaiki chi-nya yang bermasalah. 
Taoisme, berkisar pada mengosongkan diri dari segala keterikatan, pengetahuan, konsep, ambisi--semua itu, dan lebih lagi, hingga kita menjadi cangkang kosong. Tao mengisi lubang berbentuk Tuhan dengan Tuhan berbentuk lubang.
(Halaman 317)
Karena mempunyai ketertarikan pada sihir, maka penulis pun belajar mengenal Wicca pada seorang penyihir di Washington D.C.
Wicca adalah agama yang sangat demokratis. kita memilih sendiri dewa atau dewi yang ingin disembah, memilih bagian permata yang akan dipandangi, dan tak akan ada yang tersinggung. Tak akan ada Tuhan yang cemburu.
(Halaman 350)
Masih di kota yang sama, Washingtong D.C., penulis mengikuti Lokakarya Syaman. Dia mencoba praktik spiritual Syamanisme.
Kekuatan syaman terletak pada kemampuan mereka kesurupan sesuka hati dan mencapai tingkat kesadaran yang berbeda, dengan atau tanpa bantuan psikotropika.
(Halaman 379)
Kemudian terakhir, penulis menutup pencariannya dengan mengunjungi Tzfat (juga dieja Safed), kota kecil di kawasan pinggiran Tel Aviv, Israel untuk memahami Kabbalah.
Kabbalah (dan Yahudi secara umum) adalah tikkun, atau 'memperbaiki'. Pengikut Kabbalah percaya kita memiliki tugas unik untuk membantu memperbaiki dunia dengan memperbaiki diri kita, kesadaran kita.
(Halaman 437)
Meskipun diterjemahkan dengan sangat baik, namun saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melahap isi buku ini. Selain karena tebal, buku ini juga memberikan wawasan baru yang menurut saya cukup luar biasa--bahkan agak ajaib di beberapa bagian. Tetapi secara keseluruhan, isi buku ini sangat menarik. Mengandung kebijaksanaan yang mencerahkan, sindiran yang menohok, sekaligus humor yang menghibur. 

Rating
Tiga setengah dari lima bintang.

16 comments:

  1. Jadi penasaran dengan bukunya, sepertinya agak berat ya penulisnya pasti harus punya pemahaman tentang berbagai kepercayaan di dunia

    ReplyDelete
  2. Reviewnya menarik, teh. Terima kasih ya, semoga nanti bisa dapet kesempatan buat review buku lain. :D

    ReplyDelete
  3. don't judge book by cover .. hehe gak nyambung:D

    ReplyDelete
  4. Wah menarik perjalanan pencarian Tuhannya ya. Jadi kepo, terus akhirnya dia memeluk agama apa?

    ReplyDelete
  5. Berat banget bahasannya.
    Tapi sepertinya menarik.

    ReplyDelete
  6. Tema yang cukup berat tapi kayaknya asyik juga ya karena plot-nya macam keseharian seseorang.

    ReplyDelete
  7. Waksss kenapa tuhan malah di iris2 menjadi bagian2 ngak utuh hehehe

    ReplyDelete
  8. makasih infonya kaka, masuk list deh pas lagi maen ke gramed! :)

    ReplyDelete