Tuesday, December 30, 2014

Review: Notasi

Dok. Pribadi
Detail Buku
Judul: Notasi
Penulis: Morra Quatro
Editor: Aveline Agrippina & Jia Effendie
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: pertama, 2013
Tebal: 294 halaman
ISBN: 979-780-635-9
Harga: Rp 43.000 Rp 32.250 (beli di BukukuBukumu)

Jalan Cerita
Cerita dibuka dengan adegan Nalia dan Faris yang sedang menjadi relawan di Yogyakarta ketika terjadi bencana akibat meletusnya Gunung Merapi. Di sela-sela waktu tersebut, Nalia mengajak kekasihnya untuk mengelilingi kampus Universitas Gadjah Muda, melihat kampus Fakultas Teknik. Nalia memang pernah kuliah di UGM, tapi dia bukan anak Teknik. Ternyata ada masa lalu yang disimpan Nalia dan tidak diketahui Faris. Tentang Nino.

Perkenalan Nalia dan Nino terjadi tiga belas tahun yang lalu. Berawal ketika Nalia dan temannya mendatangi kampus Nino untuk menyewa slot iklan di Jawara FM--radio yang dikelola oleh mahasiswa Teknik Elektro--dalam rangka publikasi festival karya tulis yang diadakan oleh mahasiswa Kedokteran Gigi. Namun kerjasama tersebut gagal karena perseteruan yang terjadi di antara Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran. Walaupun begitu, setelah beberapa kali bertemu, Nalia dan Nino justru semakin dekat.

Masalah mulai muncul ketika acara festival karya tulis tiba-tiba diserang oleh seseorang yang tidak dikenal. Rupanya hal itu terjadi karena ada salah satu peserta yang mengirimkan karya tulis berisi kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, rezim militer benar-benar berkuasa. Mereka melakukan segala cara untuk menghukum pemberontak, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Setelah kejadian itu, semua mahasiswa UGM bersatu. Tidak ada lagi perseteruan antar fakultas. Mereka memutuskan untuk melawan. Demonstrasi terjadi di mana-mana. Membuat Nalia kehilangan Nino. Beberapa kali Nino sempat mengirim surat pada Nalia.
Aku baik-baik saja.
Aku akan menulis padamu lagi nanti. Akan kutemukan caranya, entah bagaimana, agar surat-surat ini sampai padamu.
Aku juga berjanji akan kutemukan bagaimana caranya untuk kembali.
Suatu saat aku pasti kembali.
 (Halaman 243)
Tapi Nino tidak pernah kembali....

Ulasan
Cerita tentang percintaan sepasang mahasiswa memang udah biasa. Tapi kisah tentang Nalia dan Nino ini enggak biasa. Mereka harus terpisah bukan karena hadirnya orang ketiga atau karena enggak adanya restu dari orang tua. Nalia harus kehilangan Nino karena mereka berusaha melawan pemerintahan Orde Baru, memperjuangkan reformasi demi rakyat Indonesia. Luar biasa… nyeseuk-nya.

Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Nalia, novel ini memberikan gambaran yang jelas mengenai karakter kedua tokoh utama, Nalia yang nekat dan dan Nino yang cool. Hubungan mereka diperlihatkan sangat manis, tapi enggak berlebihan.

Selain Nalia dan Nino, dimunculkan juga tokoh pendukung yang membuat cerita semakin berwarna. Seperti Farrel, Ketua BEM Fakultas Teknik sekaligus sahabat Nino. Tengku, Ketua BEM Fakultas Kedokteran asal Aceh yang berpacaran dengan Lin Lin, mahasiswa keturunan Cina. Zee, sahabat Nalia. Serta Ve, teman Farrel dan Nino yang diam-diam jatuh cinta pada Nino.

Secara keseluruhan, novel ini bagus. Melalui alur maju mundur, saya diperkenalkan pada dua lelaki di masa kini dan masa lalu dalam kehidupan Nalia. Faris terlihat sangat tulus mencintai Nalia, bahkan mereka akan segera menikah. Tapi rasanya juga sangat sulit untuk melupakan Nino.

Sayangnya entah kenapa, saya kurang bisa menikmati novel ini. Mungkin karena alurnya yang terlalu lambat, konflik baru muncul di pertengahan cerita. Atau mungkin karena deskripsi setting cerita yang terlalu detail, terasa membosankan. Atau mungkin juga karena porsi interaksi antara Nalia dan Nino yang terasa kurang. Bagian awal lebih banyak fokus pada cerita persaingan antar kedua fakultas, sedangkan di bagian akhir lebih banyak fokus pada kejadian demonstrasi. Atau mungkin ini hanya soal selera.

Namun, ada dua hal dalam novel ini yang sangat berkesan di hati saya. Pertama, adegan ketika Nalia mendapatkan tumpangan beca dan air minum gratis ketika hendak ikut demonstrasi. Ah… saat itu masyarakat kecil menggantungkan harapan yang sangat besar pada mahasiswa. Tapi apakah setelah Reformasi kehidupan mereka menjadi lebih baik? Wallahu a'lam….

Kedua, ending-nya. Aduh, speechless deh. Bahwa masa lalu ya masa lalu. Hanya untuk dikenang, enggak mungkin bisa kembali. Manis dan realistis.
In the end, we all have somebody to come home to. (Halaman 288)
Rating
Tiga dari lima bintang untuk novel ini ;)

1 comment: